• Jelajahi

    Copyright © Suara Deli
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Sejarah Masuknya Islam ke Tanah Karo

    05/12/2024, 12/05/2024 WIB Last Updated 2024-12-05T03:07:18Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

    Catatan : Roy Fachraby Ginting 
    (Dosen Universitas Sumatera Utara)

    Islam mulai masuk ke wilayah Nusantara sekitar abad ke-8 M, diterima oleh penduduk setempat tanpa ada paksaan. 

    Islam sebagai panutan telah memperkaya 
    budaya asli Nusantara. Pengaruh Islam telah membawa kemajuan dalam berbagai bidang terutama setelah tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan yang 
    bercorak Islam Nusantara.

    Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai, tanpa merusak tatanan budaya lokal yang ada serta menambah warna baru dalam corak 
    keislaman di bumi Nusantara.

    Tanah Karo, sebuah daerah yang kaya akan sejarah dan warisan budaya di Indonesia, telah menjadi sorotan dalam diskusi sejarah masuknya Islam di wilayah pegunungan dan pada waktu itu masih sangat berada di pedalaman dan sulit untuk di jangkau.

    Apalagi ketika Islam masuk, sudah lebih dulu di tanggal 23 Juli 1841, Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) mengutus Hendrik Cornelis Kruyt dari Tomohon, Minahasa, ke Tanah Karo pegunungan atau wilayah Karo Gugung.

    Dalam memulai misi penyebaran Kristen ke pegunungan Tanah Karo, Kruyt tinggal di Buluh Awar yang menjadi pos penginjilan yang pertama di Tanah Karo dan pada tahun berikutnya dia menjemput empat orang Guru Injil B. Wenas, J. Pinontoan, R. Tampenawas, dan H. Pesik.

    Masuknya Islam ke Tanah Karo di wilayah pegunungan merupakan sebuah fenomena yang menarik dan kompleks, karena daerah ini sebelumnya telah dikenal dengan adat dan budaya serta kepercayaan lokal yang kuat. 

    Sejarah masuknya Islam di Tanah Karo di wilayah pegunungan ini menjadi subjek perdebatan akademik yang menarik, karena melibatkan interaksi antara agama, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat Karo yang terbentang luas mulai dari Karo Jahe di Langkat, Karo Dusun di Deli Serdang, Karo Gugung di pegunungan, Karo Baluren di sepanjang lembah renungan Dairi dan Karo Timur di Simalungun Atas.

    Masuknya Islam ke Tanah Karo menjadi cerminan dari kompleksitas budaya dan dinamika sosial masyarakat di wilayah Karo di pegunungan tersebut.

    Apalagi wilayah Karo pegunungan atau Karo Jahe terletak di wilayah yang berbatasan langsung dengan kabupaten Langkat, Deli Serdang, Dairi, Simalungun dan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tentunya sangat dekat dengan daerah daerah yang di huni oleh masyarakat yang mayoritas beragama Islam. 

    Salah satu sisi yang sampai saat ini masih menyisakan pertanyaan dan keingintahuan sejumlah ilmuan terkait bagaimana Islam masuk dan berkembang di Tanah Karo Gugung atau Karo pegunungan serta hubungannya dengan penyebaran Islam di kalangan masyarakat Karo di pesisir yang banyak berubah menjadi Suku Melayu bermerga Karo seperti di Wilayah Kerajaan Raja Urung Serba Naman Sunggal, Senembah, Sukapiring dan Sepulu Dua Kuta Hamparan Perak.

    Proses masuknya Islam ke tanah Karo di wilayah pegunungan ini tentunya dibutuhkan studi lebih mendalam terutama tentang peninggalan-peninggalan sejarah, sehingga kedepan akan diperoleh gambaran yang jelas tentang proses masuknya Islam ke wilayah Karo gugung tersebut yang berbatasan langsung dengan saudaranya Suku Alas dan Suku Gayo yang masuk di wilayah Aceh.

    Penduduk Tanah Karo di pegunungan sebagian sejak dahulu telah memeluk agama Islam dan atas fakta ini, dapat dikatakan bahwa agama Islam telah menyebar ke berbagai daerah ataupun kawasan di Nusantara tidak terkecuali Tanah Karo di wilayah pegunungan ini.

    Masuknya Islam ke Tanah Karo di silayah pegunungan ini diperkirakan pada tahun 1888 (abad XIX) karena jejak ini pertama Islam di Tanah Karo yang dibawa oleh para Ulama Mubaligh yang berasal dari Aceh yang bernama Tengku Datuk.

    Mula-mula yang membawa seruan serta dakwah kepercayaan agama Islam ke Tanah Karo pegunungan ini adalah orang orang Aceh yang datang sambil berdagang. Hanya saja siar Islam ini belum memberikan satu makna yang memuaskan dalam perkembangan ajaran agama Islam yang maksimal.

    Keberhasilan dakwah Islam di wilayah Karo di pegunungan ini di tandai dengan adanya satu keluarga tokoh dan pemuka masyarakat adat setempat yang menerima ajaran dan masuk Islam dan keluarga ini merupakan salah satu tokoh masyarakat Karo yang berpengaruh yang bernama Juan Tarigan yang diperkirakan kejadian ini terjadi pada tahun 1904 di wilayah Tiga Binanga dan Juhar yang mana daerah tersebut sangat dekat dengan perbatasan Suku Alas dan Gayo Aceh.

    Beliau di syahadatkan oleh Ulama Aceh yang sebelumnya tentu terjadi dialog panjang antara Juan Tarigan dengan Ulama Aceh tentang agama Islam dan beliau meninggalkan ajaran dab kepercayaan Pemena yang pada waktu itu cukup kuat dengan kepercayaan lokal yang bersendikan adat dan budaya tradisi suku Karo.

    Selain Juan Tarigan, istri dan anak beliau pun masuk Islam pada saat itu. Sehingga pada tahun 1906 keluarga Juan Tarigan masuk Islam termasuk H. Sulaiman Tarigan, yang merupakan putra beliau yang pada suatu waktu kemudian setelah Indonesia Merdeka beliau diangkat oleh pemerintah sebagai kepala Jawatan agama pertama di Kabupaten Karo.

    Sehingga dari gambaran ini kita melihat bahwa perkembangan ajaran agama Islam yang masuk ke wilayah Karo Gugung di mulai dari daerah Aceh yang masuk ke Wilayah Karo di pegunungan.

    Perkembangan ajaran Islam ini juga berjalan dengan misi penginjilan di pegunungan Karo pada tahun 1892 yang membuat Pdt. H.C. Kruyt pulang ke negerinya tanpa berhasil untuk membaptis seorang-pun dari suku Karo dan misi ini di mulai dari Karo Dusun ke wilayah Karo gugung.

    Pdt H.C Kruyt kemudian digantikan Pdt. J.K. Wijngaarden, yang sebelumnya telah bekerja di Pulau Sawu dekat Pulau Timor dan Pendeta inilah yang melakukan pembaptisan pertama pada suku Karo pada tanggal 20 Agustus 1893. Pada saat itu ada enam orang yang dibabtis, yaitu: Sampe, Ngurupi, Pengarapen, Nuah, Tala, dan Tabar. 

    Sehingga misi penginjilan di Taneh Karo dari fakta ini di butuhkan 52 tahun untuk bisa membuat suku Karo terpanggil menerima Kristen untuk meninggalkan agama leluhur mereka sebagai penganut kepercayaan Pemena.

    Demikian juga untuk wilayah Kabanjahe, Islam telah masuk ke daerah pusat perdagangan itu yang di buktikan dengan berdirinya Masjid Lama di Lau Cimba, Kabanjahe. 

    Masjid ini dibangun tahun 1902 dan selesai pada 1904 atas inisiasi para pedagang muslim yang datang ke tanah Karo.

    Tujuan pendirian Masjid ini tentu saja dalam upaya mereka untuk mempermudah ibadah sehari hari mereka. Apalagi kemudian di tahun tahun berikutnya sudah masuk perantau Suku Minang dan Jawa ke kota Kabanjahe dan Berastagi yang tentunya membuat dakwah dan siar Islam semakin masif ke Karo Gugung.

    Masjid tertua di Kabanjahe ini tentu tidak bisa dipatokkan menjadi awal kedatangan Islam di tanah Karo, karena ajaran Islam jauh sebelumnya telah masuk ke Karo Gugung dan tentu lebih lama dari tanggal masjid tersebut di dirikan.

    Masjid tua Kabanjahe itu terletak di tengah perkampungan penduduk dan di keramaian pasar yang padat, masjid yang telah di makmurkan secara turun temurun oleh para penyebar Islam awal di wilayah Karo Gugung.

    Satu dan lain kemungkinan lambatnya Suku Karo menerima ajaran Agama Islam, karena gerakan dan dakwah Islam yang mereka bawa dan lakukan sambil berdagang ataupun diar dan dakwah itu belum fokus serta belum di lakukan secara terang terangan dan hal ini tentunya menjadikan pola penyebaran Islam di Karo Gugung belumlah efektif. 

    Selanjutnya, penyebaran Islam ini di lakukan oleh para Ulama yang mengembangkan Islam dengan cara cara pengobatan dan ilmu kebatinan yang cukup menarik bagi masyarakat Karo pada saat itu.

    Pendekatan yang dilakukan para ulama dari Aceh ini tidak terlepas dari pengaruh kepercayaan masyarakat Karo pada saat itu yang masih menganut kepercayaan Pemena yang menekankan kepada kepercayaan kepada roh nenek moyang yang cenderung kepada kepercayaan yang berbau mistik. 

    Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, kita juga dapat melihat dan merasakan pengaruh ajaran Islam dalam dunia pengobatan tradisional Karo yang di lakukan oleh para Guru atau tabib/ dukun yang mengucapkan kalimat Alquran dengan "Bismilahirrahmanirrohim” dalam ritual pengobatan.

    Pengobatan yang di mulai dengan menyebut  nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dalam memulai ritual pengobatan tradisional dan pantangan selama berobat para pasien tidak bisa memakan anjing dan babi tentu menjadi sesuatu yang menarik dalam upaya penyebaran agama Islam ke Tanah Karo. 

    Walaupun Guru atau tabib dan dukun tersebut bukanlah beragama Islam. Namun dakwah Islam yang dilakukan para Ulama di tengah tengah masyarakat Karo mulai terlihat pada awal tahun 1900.

    Salah satu tokoh penyebar agama Islam di tanah Karo yang jarang didengar ataupun diketahui oleh khalayak umum adalah Nini Tengku Lau Bahun. 

    Makamnya terletak di tengah kebun dilindungi oleh pohon besar yang beraroma wangi yang cukup rimbun dan tua.

    Keunikan Makam ini dikelilingi pohon beringin besar dengan akar yang melilit dengan makam dalam bentuk bangunan khas rumah adat Karo atau Geriten.

    Tidak seperti batu nisan penyebar agama Islam pada umumnya yang ada di Aceh maupun yang ada di Barus. Batu nisan Tengku Lau Bahun secara tipologi dan segi motif atau ornamennya mengadopsi dari rumah adat Karo.

    Makam ini tentu menjadi warisan Sejarah Islam di Tanah Karo yang perlu di perkenalkan kepada masyarakat tentang adanya Makam Tengku Lau Bahun di Desa Budaya Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo yang menjadi situs bersejarah penyebaran agama Islam ke Tanah Karo yang sarat dengan nilai spiritual dan budaya.

    Makam ini menjadi saksi perjuangan seorang ulama yang dihormati oleh masyarakat Karo. Konon, pernah terjadi kemarau panjang karena jasad beliau tidak segera dimakamkan dengan layak. 

    Hingga kini, makam itu sering mendapat kunjungan untuk berdoa meminta berkah dan agar hujan turun dan tidak terjadi kemarau panjang.

    Lembaga dakwah Islam tentu perlu sekali untuk mendokumentasikan dan melestarikan nilai sejarah makam ini sebagai bagian dari warisan Islam di Sumatera Utara dan Makam ini adalah bukti harmoni sejarah Islam dan tradisi lokal, yang perlu dijaga untuk generasi yang akan datang. 

    Pada tahun 1930-an Islam semakin berkembang dengan munculnya ormas ormas dan lembaga dakwah serta pendidikan Islam di tanah Karo yang memberikan pembinaan agama Islam untuk wilayah Kabanjahe. 

    Organisasi Muhammadiyah diperkirakan berdiri sejak tahun 1936 yang di bawa oleh Bapak Sujono sebagai pegawai kantor pos Kabanjahe. 

    Sejarah masuknya Islam di Tanah Karo merupakan fenomena yang menarik untuk dipelajari karena melibatkan dinamika sosial, budaya, dan agama yang kompleks. 

    Selain itu, sejarah masuknya Islam di Tanah Karo juga mencerminkan hubungan yang kompleks antara agama dan kebudayaan dalam dinamika sosial masyarakat.

    Secara keseluruhan, sejarah masuknya Islam di Tanah Karo menunjukkan kompleksitas dalam dinamika agama dan budaya yang terjadi di wilayah tersebut.

    Fenomena ini tidak hanya mencerminkan proses asimilasi agama baru dalam konteks budaya lokal yang kuat, tetapi juga menyoroti adaptabilitas masyarakat Karo dalam menjaga identitas budaya mereka sambil menerima nilai-nilai baru yang dibawa oleh Islam.

    Hal ini menggambarkan bahwa masuknya Islam tidak hanya merupakan pergantian agama semata, tetapi juga merupakan transformasi sosial dan budaya yang melibatkan interaksi dinamis antara agama dan budaya.

    Sejarah masuknya Islam di Tanah Karo memberikan kontribusi yang berharga dalam pemahaman kita tentang kompleksitas pluralitas budaya dan agama di Indonesia.

    Pemahaman bahwa keberagaman bukanlah sebuah hambatan, melainkan sebuah sumber kekayaan dan kekuatan bagi bangsa Indonesia.

    Oleh karena itu, tentunya sangat penting untuk terus mempelajari dan merawat warisan budaya dan agama yang beragam sebagai bagian integral dari identitas nasional.

    Oleh karena itulah, maka sangat penting bagi kita semua untuk dapat menjaga dan memperkaya keberagaman yang menjadi ciri khas dan kekuatan Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan nilai nilai toleransi dan pluralisme yang tentunya harus terus di jaga.
    Komentar

    Tampilkan

    Berita